Kamis, 28 Februari 2013

Sesal


“nomor yang anda tuju sedang tidak aktif...”

Entah keberapakalinya suara itu terdengar dari ujung ponselku. Kamu menghilang, entah siapa yang membawamu pergi. Angin? Badai? Atau wanita lain?

Apakah engkau masih mengingatku? Aku, yang beberapa hari lalu kau buat terbang. Aku, yang penuh dengan gengsi karena waktu. Aku, yang mencintaimu meski aku sendiri tak tahu apakah cinta yang kau semaikan itu tulus adanya. Aku, dengan segala jawaban atas pertanyaanmu dahulu.

Kau meninggalkanku dengan sejuta tanya, kau biarkan aku melamun bersama hembusan angin malam. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaanmu yang telah lalu.

“Iya, aku juga mencintaimu.”

Kepada siapa aku akan mengutarakan isi hati? sedang dirimu menuli.
Kepada siapa aku akan mencintai? Sedang dirimu pergi.
Aku bertanya kepada kompas, namun ia tak tahu arah kepergianmu.
Aku bertanya kepada peta, ternyata ia juga tak tahu letak denyut nadimu.
Adakalanya kita harus menyesal telah memperumit keadaan, yang awalnya mencinta menjadi mengamati dikarenakan gengsi. Terlalu cepat katanya...

Minggu, 17 Februari 2013

Dalam Diam


Masih belum mengerti mengapa azaz pertemanan itu ada, mengapa diam itu emas. Seperti caramu mencintaiku, diam-diam yang belum tentu menjadi emas. Belum siap, katamu. Karena kamu seorang pengangguran? Menganggur demi sebuah cita-cita yang memaksamu untuk tidak bekerja. Alasan materi kau bilang, takut tak dapat membahagiakan aku. Kamu pikir aku gila harta? Kamu salah, kebahagiaan tak sepenuhnya berasal dari uang. Uang bukanlah jaminan segalanya. Sampai kapan kau akan mengubur hasratmu dalam-dalam? Hingga sejajar dengan makam?

Entah alasan apa sebenarnya, yang membuatmu bersikukuh mencintai dalam diam. Bukan satu jam, sehari, seminggu, atau sebulan kita saling kenal. Tapi ini sudah bertahun-tahun. Dan aku nyaman jika berada diantara sayapmu.

Tak pernah sekalipun kau berbicara serius tentang hati, hanya ada rangkaian kata-kata indah yang pernah kau kirim lewat ponsel canggih beberapa waktu yang lampau. Sejak kapan kau pandai memainkan kata? hingga menjadi bait-bait yang membuatku susah bernafas. Huruf per huruf, kata perkata, semuanya mirip dengan tingkah pola mu. Tak jelas ini karya siapa, yang penting maknanya memberiku semangat untuk menunggu...

Cintaku bukan diatas lisan, maka tak perlu ku ucapkan
Cintaku bukan dimataku, maka tak harus ku menatapmu
Cintaku bukan pula dijemariku, maka tak perlu ku sentuh dirimu

Wahai wanita yang ku cintai, ku dengar gemercik dihatimu bertanya:
“dengan apa engkau mencintaiku?”

Subhanallah...
Aku mencintaimu dengan kebenaran
Aku mencintaimu dengan kemuliaan
Aku mencintaimu dengan menjaga kehormatanmu

Maha suci Allah...
Aku tak peduli mereka berkata apa atas kebisuan cintaku
Tapi aku tetap yakin inilah yang terbaik

Percayalah...
Dibalik cinta diamku terdapat bukti kesungguhanku
Dibalik cinta diamku aku selalu menjanjikan kesetiaan
Walau tak pernah aku ucapkan

Aku ingin kita mengukir kisah cinta kita dan bermadu kasih dibawah janji suci yang di ridhoi Allah

Mengukir kisah yang manis agar kelak bisa menjadi dongeng sebelum tidur bagi anak-anak kita

insyaAllah...
Andai kita tak dipertemukan di dunia
Maka aku akan menunggumu di surga-Nya
insyaAllah...

Tapi jika suatu saat, kau datang dengan segala perbekalan. Apa aku siap? Terlebih untuk kita, yang awalnya sebagai sahabat. Teman disegala musim. Kini sepertinya hatiku ambigu, mentalku berkarat. Berjuta tanda tanya menggunung dikepala.

Lalu


Rintikan air hujan membasahi kaca mobil, wiper tak kunjung henti menari ke kanan dan ke kiri. Pepohonan di tepi jalan semakin terlihat hijau, mereka bersuka cita menyambut hujan sore itu. Kami menyusuri lautan aspal dengan arah dan tujuan yang tak tentu. Hanya ada kami berdua didalam mobil, dia dengan setir bundarnya dan tatapan-tatapan tajam ke arah keramaian, sedangkan aku duduk manis di jock sebelah kiri.

Adele-Set Fire to the Rain ikut meramaikan suasana. Kami bercengkrama, tertawa bahkan sesekali tersipu malu, obrolan demi obrolan berlangsung lama. Dan lagi-lagi ada topik pembicaraan yang membuatku kesal, kau menceritakannya berkali-kali, berulang-ulang dan terus-menerus. Apapun itu, aku bosan! Aku cemburu! Tapi perasaan itu hanya bisa ku simpan dalam hati. Bisa apa aku? Toh bukannya dari dulu posisiku seperti ini. Entah nama apa yang cocok untukku ini, selir? Teman rasa pacar? Atau pelarian? Berkali-kali kau bergonta-ganti kekasih, namun kau selalu memaksaku untuk bertemu. Bodohnya aku yang selalu menuruti perintahmu. Rindu, katamu.

Jemarinya membentuk angka satu, lalu ditempelkannya di bibir. Itu merupakan perintah agar aku tak bersuara.
“aku lagi nyetir yank, mau ke rumah temen, sendirian kok. Kamu dimana? Ntar aja telpon lagi yaa...”
Rupanya sang pujaan hati baru saja menelpon. Untuk sementara ini mereka dipisahkan oleh jarak, kekasihnya berpulang ke Makassar, tempat kelahirannya. Dia adalah seorang perantau ilmu di surabaya. Mungkin karena itu dia merasa kesepian, lalu akulah yang menjadi pelarian.

Kita mau kemana lagi?
Jemput mama pulang kerja, nanti kamu pindah kursi belakang yaa
Oke boss!

Nampak sosok wanita cantik dengan kerudung berwarna coklat, berjalan menghampiri mobil yang aku tumpangi. Di bukanya pintu mobil, dan kami saling tatap. Senyumnya mengembang. Beliau tak heran dengan adanya tubuhku di dalam mobil, karena beliau sudah tak asing dengan pertemanan konyol kami. Tak lama kemudian sampailah disebuah rumah berpagar hitam, wanita itu turun dan masuk ke dalam rumah. Kemudian kami melanjutkan perjalanan yang tak berarah.

Di arahkannya setir ke suatu tempat, lalu

Senin, 11 Februari 2013

Surat Untuk Jendral


Selamat malam Tuan, apa kabar? Semoga Tuan baik-baik saja disana. 

Saya Mirani, Tuan masih ingat? Saya pembantu kesayangan Tuan dulu, pengganti mbok Sri. Dulu Tuan janjikan kebahagiaan jika saya rela dimadu oleh Tuan. Rumah, mobil, bahkan sebagian dari harta Tuan. Tuan masih ingat kan? Tapi bukan itu yang menjadi embel-embel saya mencintai Tuan, cinta saya tulus Tuan. Meski saya hanya seorang budak istimewa dalam istana Tuan.

Malem ini saya sengaja kabur dari dengkuran suami saya, demi menuliskan sebuah surat untuk Tuan. Mohon maaf sebelumnya, beribu-ribu maaf untuk Tuan. Bukan maksut saya untuk tidak sopan, karena sudah melalang buana dari singgah sana Tuan. Pergi tanpa pamit. Bukan saya tak cinta dengan Tuan, karena saya sudah menolak tawaran Tuan. Saya hanya tak enak dengan orang tua, terutama calon mertua dan tunangan saya. Saya cinta dengan Tuan, begitupula dengan tunangan saya. Akhir tahun kemarin kami menikah, mungkin Tuan sudah mendengar cerita ini dari Pak Hendra, ajudan Tuan. Kami dikarunia-i seorang jagoan mungil, seperti yang Tuan inginkan dulu dari rahim saya. Entah mengapa jagoan kami sedikit mirip dengan Tuan, mungkin karena selama saya mengandung saya sering memikirkan Tuan. Hehehe...

Beberapa bulan setelah kepergian saya dari istana Tuan, saya sempat menitipkan sebuah surat kepada salah satu ajudan Tuan. Semoga surat itu sampai ditangan dan terbaca oleh Tuan. Akhir-akhir ini saya selalu kepikiran Tuan, kebaikan-kebaikan Tuan selalu terngiang-ngiang dalam ingatan saya. Rindu ini terlalu berkecamuk, hingga saya sulit membedakannya dengan amarah. Di setiap bangun pagi, terbukanya kedua bola mata ini. Saya berharap yang ada disamping saya adalah Tuan, bukan suami saya. Tuan lah yang menjadi orang pertama disaat saya membuka mata. Mungkin hingga menutupnya mata. Tapi sepertinya itu semua hanya ada dalam cerita dongeng masa lampau. Karena saya telah meng-iya-kan pernikahan itu, dan saya memilih kabur untuk melupakan Tuan. Saya pikir itu salah satu cara terampuh untuk melupakan Tuan, tapi saya salah. Jiwa-jiwa Tuan terlalu hebat memasuki cela-cela dalam diri saya.

Segudang cinta dari kamar pembantu,
Mirani J

Minggu, 10 Februari 2013

Tua-tua Keladi


Tubuhnya tua, rentah dimakan usia. Tapi tidak dengan gelora jiwa mudanya. Untuk jatuh cinta berkali-kali ia masih kuat. Meskipun terdapat banyak kerut dipipinya. Sudah tidak 50tahun lagi, anak dan beberapa cucu sudah dia peroleh. Dan seorang suami masih setia mendampingi. Meski jiwanya lebih rentah dari sang istri.

Dia jatuh cinta lagi, kepada tukang becak yang setiap pagi mengantarnya pergi ke pasar. Bagaikan dimabuk asmara, hidupnya semakin berwarna. Senyum sumringah mewarnai keriputnya, ketika pangeran beroda tiga menjemputnya. Tak perduli suami dan anak cucu dirumah, yang penting becak milik mereka. Sepanjang aspal menghitam cinta mereka merekah.


Tua-tua keladi, sudah tua jatuh cinta lagi.
Terkadang dunia terasa semakin egois, ketika jiwa-jiwa rela membunuh harga diri demi segumpal cinta.

Aku Kalah


aku pulang tak membawa apa-apa
anakmu kalah bu...

bisa dibilang aku ini sebagai perantauan
berkelana mencari hati yang mencariku
tapi tak ku dapat satupun
lagi-lagi aku tertinggal digaris start

kecewa memang,
terselip satu centi dari orang yang aku kenal
apa aku kurang hebat?
kurang menarik mungkin?
ahh sudahlah...
mungkin memang aku ditakdirkan untuk selalu kalah
atau belum saatnya untukku?

Percayalah


Selamat pagi kamu, yang tak pernah percaya akan debar-debar jantungku.

Pagi ini aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku, apalagi meyakiniku. Aku bukan malaikat yang tingkah lakunya selalu benar, dan setiap ucapan-ucapannya dapat dipercaya tanpa menagih bukti. Aku hanya manusia biasa, yang dapat menciptakan bualan-bualan basi untukmu. Yang hanya dengan merengek dan tersenyum agar kau dapat mempercayai kebohonganku, meski terkadang bola mataku yang berbicara tentang kejujuran tingkah lakuku.

Mungkin karena terlalu banyak kebohongan-kebohongan yang aku lahirkan. Sehingga tidak ada sedikitpun rasa percaya untukku. Aku maling, maling yang kembali ke jalan yang benar. Mungkin sedang dalam proses insaf.

Apa aku harus melompat ke jurang?
Apa aku harus menguras samudera dengan sebuah gayung?
Atau aku harus mengecat batu es dengan kuas?

Tugasku adalah menciptakan kebahagiaan untukmu, lewat jemari-jemariku. Meski kau tidak pernah merasakan goresan-goresan kulit sawo matangku.

Kelak suatu saat kau akan percaya, bahwa aku benar-benar memasang pasak namamu dalam hatiku.